*ILUSTRASI
Pengarang :
Mascoro
Siang yang cukup terik saat aku pulang dari sekolah tempatku
mengajar. Jarak antara sekolah dan rumahku memang tidak begitu jauh, tapi
teriknya siang ini membuatku mengendarai motor matic ini cukup tersiksa. Untung
saja jalanan tidak begitu macet sehingga aku bisa dengan cepat sampai rumah.
Di rumah aku disambut oleh anak lelakiku yang digendong baby
sitter. Anak semata wayangku yang bernama Gerald ini baru berumur setahun,
hasil pernikahanku dengan mas Galih 2 tahun yang lalu. Namaku Nuri Herawati,
saat ini berumur 26 tahun, terpaut 3 tahun dengan mas Galih. Sedangkan baby
sitter yang menjaga anakku ini adalah Siti, kenalanku dari kampung yang
bersedia ikut denganku. Sebagai lulusan SD dia sudah cukup berterima kasih ku
beri pekerjaan di rumah ini. Selain menjaga Gerald Siti juga sekaligus
merangkap pembantu yang mengerjakan semua pekerjaan rumah.
Begitu melihat Gerald seolah rasa lelahku langsung hilang.
Senyumnya menjadi seperti vitamin yang selalu manjur untuk mengembalikan semangatku.
Ku gendong Gerald kemudian kubawa masuk ke kamar, sedangkan Siti melanjutkan
pekerjaannya. Aku bisa betah seharian bermain-main dengan anakku yang sedang
lucu-lucunya itu.
Kalau sudah pulang dari mengajar seperti ini, ya hanya ini
kegiatanku, bermain-main dengan Gerald sambil menunggu mas Galih pulang.
Suamiku bekerja di sebuah bank bumn di kota ini, dan biasanya dia pulang agak
petang. Untung di rumah ada Gerald dan Siti sehingga aku tidak terlalu
kesepian.
Saat sedang asyik-asyik bermain-main dengan Gerald ku dengar
ada suara motor yang masuk ke halaman rumahku. Saat kutengok dari dalam rumah
ternyata itu adalah Wika, kawanku sejak kuliah yang kebetulan mendapat
pekerjaan juga di kota ini. Aku dan Wika sama-sama perantau, tapi kalau kampungku
tak begitu jauh dari kota ini, Wika berasal dari pulau seberang.
Wika seumuran denganku, tapi dia belum menikah. Penampilan
kami berdua juga sama-sama berjilbab kalau sedang keluar rumah, dan juga
memakai pakaian yang tidak terlalu ketat, tapi tetap modis, khas hijaber masa
kini. Secara postur tubuh, meskipun tinggi kami hampir sama tapi Wika lebih
langsing daripada aku. Wajar karena aku sudah pernah melahirkan. Tapi meski
begitu aku juga tidak bisa dikatakan gemuk. Aku bersyukur karena setelah
menikah tubuhku tidak terlalu melar, bisa kembali meskipun tidak selangsing
dulu, tapi itu sudah cukup membuat suamiku senang. Katanya dia lebih suka
melihatku yang seperti ini, lebih montok, hehehe.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, masuk Wi.”
“Hai Ri, apa kabar?” dia masuk dan kami langsung cipika
cipiki.
“Alhamdulillah baik, kabar kamu gimana?” tanyaku balik.
“Alhamdulillah baik juga. Hai ganteeng, sini dong digendong
sama tante.”
Aku pun langsung memberikan Gerald untuk digendong oleh Wika.
Wika memang sudah sering main kesini dan menggendong Gerald, karena itulah
anakku tidak rewel, bahkan terlihat senang kalau Wika datang. Kulihat dia
senang sekali bermain-main dengan Gerald, makanya sering kusindir agak
cepat-cepat menikah.
“Duh, kayaknya kamu udah pengen banget punya anak Wi? Sana
buruan nikah, umur juga udah pas kan?”
“Hehehe iya Ri, ya doain aja moga-moga cepet dilamar sama
mas Anton.”
“Ya kalau nggak cepet-cepet dilamar ancem aja, mau cari yang
lain, entar pasti langsung deh mas Anton nemuin orang tuamu, hahaha.”
“Hahaha iya juga ya.”
Kami masih ngobrol santai sampai akhirnya aku dipanggil Siti
dan memberi tahu kalau makan siang sudah siap. Kuajak Wika sekalian makan
siang. Dia minta tetap menggendong Gerald, kuiyakan saja karena kulihat Gerald
anteng-anteng saja. Selesai makan siang kami duduk-duduk di ruang keluarga
sambil ngobrol santai lagi.
“Eh Ri, tahu nggak, ada tempat pijat baru lho di daerah
Seturan,” ucap Wika.
“Oh ya? Dimana?” tanyaku.
“Di deket OK-Mart, ada gang kan di sebelahnya, masuk
kira-kira 100 meter, namanya Family Spa.”
“Ooh, enak nggak tempatnya?”
“Enak kok, karena masih baru mungkin ya, coba aja kesana.”
“Hmm, iya deh entar kapan-kapan. Lagian aku nggak terlalu
hobi pijat. Apalagi di tempat kayak gitu, rasanya kurang nyaman aja.”
“Eh yang ini beda. Kan tempat buat cowok sama cewek dipisah,
terus roomnya juga nggak kayak di tempat lain yang cuma dibatesin triplek. Ini
kayak kamar gitu, lumayan kedap suara juga, jadi nggak bakal denger suara dari
luar. Udah gitu fasilitasnya lengkap, kalau yang VIP ada bathtub sama TV-nya.”
“Oh ya? Wah mahal dong berarti?”
“Ya lumayan, tapi sekarang masih promo kok, jadi harganya
sama kayak di tempat lain. Kemarin pas kesana aku tanya kan promonya sampai
kapan, kata kasirnya masih 2 minggu lagi. Kesana aja lumayan kan?”
“Hmm, iya deh nanti.”
Setelah itu obrolan kami berganti topik lagi. Sampai
akhirnya tak terasa hari sudah sore dan Wika pamit pulang. Aku memikirkan lagi
soal panti pijat yang tadi diceritakan oleh Wika. Aku memang tidak terlalu
sering dipijat, karena aku orangnya gampang gelian, jadi suka risih aja kalau
dipijat, meskipun yang mijat itu mbok-mbok kayak biasanya aku pijat selama ini.
Tapi kupikir-pikir, mumpung masih promo mungkin boleh juga dicoba, apalagi Wika
yang ngerekomendasiin. Yang aku tahu Wika memang sering pijat di spa-spa
seperti itu, sebulan bisa 2 sampai 3 kali.
Pada suatu hari, aku pulang lebih awal dari biasanya karena
hari ini memang diadakan rapat guru. Rapat itu ternyata cuma berlangsung
sebentar dan kami langsung pulang. Dalam perjalanan aku kembali teringat panti
pijat yang pernah diceritakan Wika. Kuingat-ingat lagi sepertinya saat ini masih
promo, ah kucoba saja kesana, mumpung badanku juga sedang capek-capek. Tapi aku
memutuskan untuk pulang dulu ganti baju, tidak mungkin aku kesana dengan
memakai seragam guruku ini.
Sesampainya di rumah aku segera mengganti baju. Kukenakan
kemeja lengan panjang kotak-kotak dan celana panjang jeans, kemudian dengan
jilbab berwarna hitam. Kepada Siti aku mengatakan akan ke rumah temanku dulu
karena ada sedikit urusan. Aku pun berangkat berbekal petunjuk yang diberikan
oleh Wika tempo hari. Tidak sulit mencari tempat itu, dan akhirnya aku sampai
juga.
Kulihat dari luar bangunannya cukup bagus, didominasi warna
hijau dengan desain yang futuristik. Sayang tempatnya agak masuk ke dalam,
kalau pas di pinggir jalan depan sana mungkin akan semakin ramai. Kulihat
parkirannya cukup luas, dan baru beberapa kendaraan saja baik mobil ataupun
motor yang terparkir. Yah, memang masih jam segini, orang-orang pun pasti masih
sibuk bekerja.
“Selamat siang ibu, selamat datang,” aku langsung disambut
petugas saat baru masuk.
“Selamat siang mbak,” jawabku.
“Baru pertama kali kesini bu?” tanya petugas itu dengan
ramah.
“Iya mbak, betul.”
“Oh kalau begitu silahkan dipilih, mau paket yang mana,
semua harga yang tertera disitu nanti dipotong 50% bu karena kami masih promo,”
dia menyodorkan sebuah buku yang mirip daftar menu.
Kulihat tarif untuk tiap-tiap perawatan memang lebih tinggi
daripada tempat lain, tapi karena masih promo dan diskon sampai 50%, jatuhnya
malah lebih murah.
“Saya pilih ini aja mbak, shiatsu yang 2 jam.”
“Oh baik ibu. Silahkan pilih untuk terapisnya. Untuk yang
ada klip merahnya sedang tidak available ya bu,” kembali mbak itu memberikan
sebuah buku yang isinya foto-foto terapis yang ada disitu. Hmm, cukup banyak
juga, dan semuanya cewek. Hanya ada foto, tidak ada namanya.
“Yang ini aja mbak,” aku menunjuk sebuah foto terapis. Aku
memilihnya karena dari foto posturnya cukup kecil, jadi kurasa tenaganya nanti
pas untuk memijitku yang tidak terlalu suka dipijat keras-keras.
“Oh iya baik. Ibu mau room yang VIP atau yang biasa?”
“Yang VIP ya mbak.”
“Baik bu, mari saya antarkan.”
Mbak yang aku tidak tahu namanya itu kemudian mengajakku
menaiki tangga. Sampai di lantai 2 ku lihat ada dua buat pintu, dimana ada
tanda cewek dan cowok. Hmm, benar kata Wika, ruangannya dipisah, kurasa ini
benar-benar aman. Disitu juga ku lihat ada seorang pria yang memakai seragam
security sedang duduk di dekat pintu-pintu itu.
Wah, sampai ada securitynya, mungkin buat jaga-jaga kalau
ada pelanggan yang nakal sama terapis biar bisa langsung ditindak kali ya. Aku
merasa semakin tenang karena ku pikir dengan adanya petugas keamanan itu
berarti panti pijat ini memang benar-benar menjaga keamanan dan kesopanan.
Kalau ada pelanggan yang punya niat tidak-tidak pasti berpikir ulang setelah
melihat pria itu, yang berperawakan tinggi besar dan wajahnya agak, hmm,
menyeramkan, hihihi.
“Ini ruangannya bu, silahkan ibu ganti baju dengan pakaian
yang sudah kami sediakan sambil menunggu terapisnya, kurang lebih 5 menit lagi
terapisnya datang.”
“Oh iya mbak, makasih.”
Aku segera masuk ke ruangan itu. Berbentuk seperti kamar,
berukuran sekitar 3 x 4 meter. Ada sebuah bathtub dan TV, seperti yang
diceritakan Wika. Tempat untuk pijitnya juga bukan ranjang kecil seperti
biasanya di tempat lain, tapi sebuah matras yang cukup tebal dan lebar, dengan
lubang untuk wajah. Di atasnya ada besi-besi yang biasa digunakan terapis untuk
pegangan waktu melakukan shiatsu.
Akupun segera berganti pakaian. Awalnya aku agak ragu waktu
melihatnya, hanya sebuah celana dalam tipis berwarna putih, dan sebuah tanktop
yang juga cukup tipis berwarna putih. Tapi setelah kupikir-pikir, toh yang
mijat cewek juga, jadi nggak papa lah. Kulepas semua pakaianku, termasuk
pakaian dalamku dan menggantinya dengan pakaian itu. Sejenak aku bercermin, wah
seksi juga ya aku berpakaian kayak gini, gimana kalau mas Galih lihat ya?
Hihihi.
Tok tok tok...
“Permisi,” kudengar suara ketukan pintu dikuti suara seorang
wanita.
“Iya,” jawabku.
“Sudah selesai bu ganti bajunya.”
“Sudah mbak,” jawabku sambil membuka pintu yang memang tadi
ku kunci.
“Selamat siang bu,” sapa wanita itu, terapis yang kupilih
tadi.
“Siang mbak.”
“Saya Eri bu, maaf dengan ibu siapa?” tanyanya.
“Saya Nuri.”
“Baik bu, kita bisa mulai terapinya. Shiatsu 2 jam ya bu?”
“Iya mbak.”
“Oh iya sebelumnya ini ada wedhang jahe, mungkin kalau ibu
berkenan silahkan diminum biar agak hangat badannya.”
“Wah makasih mbak.”
Aku menerima cangkir dari mbak Eri yang berisi wedhang jahe
itu, dan meminumnya sedikit. Kemudian dia menyuruhku untuk tengkurap. Setelah
aku tengkuran dia menutupi tubuhku dengan handuk lebar yang menutup punggung
sampai ke lutut.
“Maaf bu, pijitanya mau yang sedang atau yang kuat?”
“Yang sedang aja ya mbak.”
“Baik bu.”
Dia pun memulai pijatannya dari telapak kakiku. Hmm, kalau
yang aku dengar, pijatan yang benar itu memang mulainya dari telapak kaki, jadi
kalau yang mulai dari tempat lain, yaa kalian bisa menduganya sendiri lah,
hehehe. Sambil menikmati pijatan dari mbak Eri, kunyalakan TV yang ada di
ruangan ini. Memang aku tak bisa melihat dengan leluasa, tapi lumayanlah masih
bisa dengar.
“Bu Nuri baru pertama kali kesini?”
“Iya mbak, kemarin itu dikasih tahu sama teman, katanya ada
tempat pijat baru.”
“Oh iya bu, kita emang baru buka kok, belum ada sebulan,
makanya masih sepi ini.”
“Oh gitu. Padahal disini bagus ya mbak, sayang tempatnya
agak masuk. Kalau di pinggir jalan besar pasti udah lebih rame.”
“Iya bu, tapi disini malah enak kok, nggak bising. Kalau di
room VIP seperti ini sih enak karena kedap suara, tapi kalau yang standar kita
masih bisa denger suara-suara dari luar kan bu, jadi kurang nyaman aja.”
“Iya juga sih mbak.”
Sambil terus memijat mbak Eri mengajakku ngobrol. Pijatannya
enak juga ternyata, apalagi orangnya juga ramah, aku jadi merasa lebih nyaman
sekarang.
“Ibu asli Jogja?”
“Bukan mbak, saya dari Solo, disini kebetulan kerja, dan
ikut suami juga.”
“Oh gitu. Kerja dimana bu?”
“Ngajar mbak di SD 69.”
“Wah bu guru tho?”
“Iya mbak, hehehe.”
“Anaknya udah berapa bu?”
“Baru 1 mbak, masih setahun. Aduuh...”
“Eh, kenapa bu? Ada yang sakit? Atau saya mijitnya terlalu
kuat?” tanya mbak Eri terdengar panik.
“Oh nggak kok mbak. Maaf saya orangnya emang gampang geli,
hehe. Nggak papa, pijatan mbak enak kok, udah pas, lanjutin aja.”
“Oh gitu, ya udah saya lanjutin ya bu.”
“Iya mbak.”
Aku tadi memekik karena pijatan mbak Eri sudah sampai di
daerah paha atasku. Disitu dan beberapa daerah lainnya memang aku geli sekali.
Saat ini pun pijatan mbak Eri membuatku terus menggeliat meskipun sudah tidak
mengaduh seperti tadi lagi. Tapi karena mbak Eri sudah tahu dia terus
melanjutkan saja.
Kami masih terus ngobrol sampai dia memijat punggung dan
tanganku, kemudian memintaku berbalik dan mengulangi pijatannya dari kakiku.
Lagi-lagi tubuhku menggelinjang saat tangannya mulai menyentuh pahaku, tapi
kucoba menahan sebisa mungkin. Mbak Eri pun tampaknya tidak terlalu
mempedulikan dan terus melanjutkan pijatannya, meskipun beberapa kali dia
tersenyum melihat tingkahku.
“Oke bu, selanjutnya kita pake minyak ya. Bu guru silahkan
kalau mau minum dulu.”
“Iya mbak,” aku agak geli dia memanggilku bu guru, tapi ya
sudahlah karena memang aku seorang guru.
Aku pun bangkit dan meminum wedhang jahe yang masih tersisa
tadi sampai habis. Mbak Eri bahkan menawariku apa mau lagi dan aku mengiyakan
saja. Sejenak dia keluar untuk mengambilkan minuman lagi, dan tak lama dia
sudah kembali lagi dan cangkirku sudah terisi penuh. Dia kemudian memintaku
untuk memilih minyak mana yang mau dipakai, aku memilih salah satunya yang
aromanya cukup segar dan tidak begitu tajam. Kemudian mbak Eri memintaku untuk
tengkurap lagi.
Dia mulai memijat kakiku lagi dengan minyak itu. Terasa
dingin saat menyentuh kulitku, dan terasa geli juga. Tapi aku tak terlalu
banyak protes dan menikmatinya saja karena pijatannya memang terasa enak.
Lagi-lagi tubuhku menggelinjang saat pijatannya sampai di
daerah pahaku. Ditambah dengan minyak pijat itu membuatku semakin geli, apalagi
pijatannya semakin naik hampir ke pangkal pahaku. Aku sampai memeluk bantal
erat-erat, dan bahkan menggigitnya karena tadi aku hampir saja mendesah.
Mbak Eri mengangkat handuk yang menutupi pantatku, dan
menuangkan minyak itu disana. Lalu dia meneruskan pijatannya dengan
meremas-remas pantatku. Duh, rasanya benar-benar geli sekali. Beberapa kali aku
menggenlinjang bahkan mendesah tertahan. Apalagi kurasakan tangan mbak Eri
masuk ke dalam celana dalam yang kupakai dan memijatnya langsung di kulit
pantatku, membuatku semakin blingsatan.
Untungnya tak lama kemudian mbak Eri menyudahi pijatanya di
daerah pantatku itu. Dia menurunkan lagi handuk menutup pantatku. Kini
pijatannya beralih ke punggung. Tanpa menyibakkannya dulu, dia tuangkan minyak
itu ke punggungku yang masih memakai tanktop. Duh, tanktop ini kan tipis
sekali, dikasih minyak kayak gitu pasti jadi nerawang deh.
Kembali pijatan mbak Eri membuatku sedikit geli. Tangannya
lagi-lagi masuk dari bawah tanktopku menyusuri punggungku. Aku semakin
membenamkan kepalaku ke bantal karena merasakan geli saat tangan mbak Eri
berada di bagian samping tubuhku, apalagi waktu memijat pinggiran payudaraku.
Tak lama kemudian mbak Eri menyudahinya, lalu memijat kedua
tanganku. Setelah kedua tanganku selesai, dia menyuruhku balik badan. Kembali
tubuhku ditutup dengan handuk dari dada hingga lutut. Dia memulai lagi
pijatannya dari bawah. Semakin naik dan semakin membuatku geli.
Selama pijatan dengan minyak ini kami tak banyak bicara,
karena aku memang lebih banyak menutup mulut menahan desahan, sedangkan mbak
Eri sepertinya berkonsentrasi pada pijatannya.
“Sshh mbaakkk,” desahku tak bisa tertahan saat kedua tangan
mbak Eri memijat paha dalamku, dekat sekali dengan bibir vaginaku.
Dia tidak menjawab, kulihat dia hanya tersenyum saja, tapi
melanjutkan pijatanya lagi. Duh, aku benar-benar kegelian, badanku sampai
bergerak-gerak gini. Selanjutnya mbak Eri menarik handuk dan meletakannya di
samping tubuhku. Dia langsung saja menuangkan minyak itu di bagian depan
tubuhku. Aku tak sempat memprotes karena minyak itu sudah membasahi tanktop
yang kupakai, sehingga sekarang terlihat menerawang. Bahkan kedua buah dada dan
puting susuku terlihat dengan jelas.
Aku pun menutupinya dengan menyilangkan kedua tanganku. Malu
rasanya, sudah seperti telanjang saja. Tapi mbak Eri cuek dan melanjutkan
pijatanya di perutku. Lembut sekali sebenarnya pijatannya, tapi buatku itu
rasanya geli banget. Apalagi waktu tangannya menyentuh langsung kulitku,
pelan-pelan naik sampai di bawah kedua buah dadaku. Aku sampai harus menahan
tangannya karena kurasakan tangannya juga mau naik ke payudaraku.
Mbak Eri kemudian memijat di daerah situ. Hmm, tapi kok
tenaganya udah jauh berkurang ya, kayak bukan memijat, tapi, meraba. Tangan
mbak Eri berputar-putar di bawah payudaraku, membuat tubuhku semakin
menggelinjang tak karuan. Tapi untungnya lagi, mbak Eri langsung menyudahinya.
Aku bisa bernafas lega.
Lalu dia pindah ke atas kepalaku. Dia raih tanganku dan
dibaluri dengan minyak pijat itu. Lembut dia memijat tapi aku langsung merasa
geli kalau sudah sampai di bagian ketiak, apalagi tak berhenti di ketiak,
pijatannya, eh bukan, rabaannya berlanjut ke daerah samping payudaraku. Aku
hanya bisa mendesis saja.
Setelah kedua tanganku selesai dipijat hingga tampak
berkilau karena minyak, mbak Eri masih berada di atas kepalaku, kini dia mulai
memijat daerah pundah. Untuk kali ini aku bisa merasakan pijatannya kembali
seperti tadi, terasa nyaman. Sampai akhirnya bagian bawah leherku dibaluri lagi
dengan minyak.
Belum sempat aku berbuat apa-apa kedua tangan mbak Eri
langsung masuk ke sela-sela belahan tanktopku sehingga sekarang langsung
menangkup kedua susuku.
“Aaahhh mbaaakkhh,” aku tersentak, tapi hanya bisa mendesah
saja saat kemudian kedua tangan itu meremas buah dadaku.
Ini adalah pertama kalinya payudaraku disentuh oleh orang
lain, meskipun sama-sama cewek. Tapi rasanya benar-benar, hmm, geli banget.
Apalagi sekarang tubuhku, entah kenapa terasa aneh sekali, rasanya panas dan
daerah vaginaku seperti gatal minta digaruk. Apalagi dengan kedua payudaraku
diremas dengan lembut oleh mbak Eri, membuatku jadi terangsang.
Ah nggak boleh. Aku nggak boleh terangsang kayak gini. Aku
mencoba untuk menarik tangan mbak Eri tapi tidak berhasil. Dia malah memainkan
puting susuku, memilin-milinnya. Aah, padahal ini adalah salah satu titik
paling sensitif yang aku punya, dan dia sedang memainkannya.
“Mbaakkhh aahhh udaaahhhh,” aku memohonnya untuk berhenti
tapi dia malah makin bersemangat.
Aku sendiri merasa vaginaku sudah semakin gatal, sampai
kugesek-gesekkan kedua pahaku, tapi itu tidak cukup. Aku ingin merabanya,
menyentuhnya, tapi kedua tanganku masih mencoba untuk menarik tangan mbak Eri.
Kurasakan kedua puting susuku sudah mengeras dipilin oleh
mbak Eri. Nafasku semakin tak karuan, desahanku juga semakin tak tertahan.
Apakah ini juga termasuk dalam paket pijatan yang kupilih tadi?
“Aaaahhhh mbaakk, aku, oouhh aahhh akhuuuu..”
“Keluarin aja bu, jangan ditahan-tahan,” begitu yang
kudengar darinya, lalu beberapa saat aku mendesah panjang.
“Aaaaaaahhhhhhhh..” pantatku sampai terangkat-angkat.
Astaga, aku orgasme, hanya dengan dimainkan buah dadaku saja, tanpa penetrasi
sama sekali.
Tubuhku langsung melemas. Aku sampai memejamkan mataku,
mengatur nafasku yang terengah-engah. Aku bahkan diam saja waktu mbak Eri
menarik tanktopku sampai terlepas. Untuk beberapa saat sepertinya dia
membiarkanku mengatur nafasku.
“Sshhhh aaahh mbaak, udaaahh,” aku kembali merasakan kedua
payudaraku dimainkan lagi oleh mbak Eri.
Aku membuka mataku dan terkejut karena dia ternyata sudah
melepas pakaiannya tadi, tinggal memakai BH dan celana dalam saja. Dia
memelukku sambil tetap memainkan payudaraku, lalu tiba-tiba saja dia menciumku.
Aku gelagapan menerima serangan ini. Aku mencoba untuk
meronta tapi entah kenapa tubuhku malah bereaksi sebaliknya. Apalagi sekarang
kurasakan tangan mbak Eri mulai turun menyusuri perutku, kemudian masuk ke
celana dalamku dan langsung menyentuh bibir vaginaku. Bukan hanya itu, tapi
jarinya langsung masuk dan mengobok-obok liang vaginaku.
Oh tidak, vaginaku sudah basah. Dan jari ini, ah untuk
pertama kalinya ada orang selain mas Galih yang menyentuhnya. Dan orang itu
adalah sama-sama cewek. Aku tidak bisa berpikir jernih lagi, tubuhku dengan
cepat dikuasai oleh nafsu. Entah kenapa secepat ini, biasanya aku tidak sampai
secepat ini terangsang bila bercinta dengan mas Galih.
Mbak Eri terus mengobok-obok memekku, eh bukan, vaginaku.
Aduh, kenapa aku jadi ngomong jorok begini sih.
Kocokan jari mbak Eri semakin cepat, hingga vaginaku semakin
lama semakin becek. Bunyi kecipak terdengar jelas di telingaku. Desahanku sudah
tak karuan tapi tertahan oleh ciuman mbak Eri yang sekarang sudah memainkan
lidahnya juga.
“Eehhmmmmpppp..” tubuhku mengejang beberapa kali, saat
kurasakan orgasme dahsyat melandaku. Vaginaku benar-benar sudah banjir oleh
permainan jari mbak Eri.
Oh tidak, kenapa aku menikmati sekali, dicumbu oleh sesama
wanita seperti ini? Apakah aku punya kelainan? Tidak mungkin. Selama ini aku
tak pernah tertarik pada wanita. Tapi kenapa sekarang, aku mudah sekali
terangsang disentuh oleh mbak Eri.
Kulihat dia tersenyum dan bangkit. Dia mencoba melepas
celana dalamku tapi kutahan. Dia menatapku, aku menggeleng.
“Udah dilepas aja, udah basah, biar nggak mengganggu.”
Akhirnya tenagaku kalah oleh tarikan mbak Eri, sehingga
harus merelakan celana dalamku terlepas begitu saja.
“Bu guru haus?” tiba-tiba dia bertanya seperti itu, dan aku
hanya mengangguk karena memang merasa haus.
Dia kemudian mengambil cangkir minumku tadi, membantuku
untuk duduk lalu meminumkanya. Terasa cukup segar membasahi tenggorokanku, lalu
aku direbahkan lagi.
“Mbak, udah ya?” pintaku memelas kepadanya. Dia tak
menanggapi, malah kulihat dia melepaskan BH dan celana dalamnya.
Melihat tubuhnya yang telanjang aku risih, tapi masih
sedikit berbangga karena menurutku tubuhku masih lebih bagus daripada dia. Aku
lebih putih, lebih montok, payudaraku juga lebih besar, begitu juga pantatku
karena kulihat pantatnya tepos.
Dia kemudian mengambil sebotol minyak, entah apa itu, lalu
menuangkannya di sekujur tubuhku. Aku mencoba menggeliat tapi tubuhku masih
lemas karena dua kali orgasme tadi. Setelah itu dia kembali meraba sekujur
tubuhku.
“Mbaak Erii, udaaahh,” pintaku memelas.
“Belum, bu guru belum siap.”
Aku tak mengerti apa maksudnya, tapi sekarang aku kembali
hanya bisa mendesah saja. Aku pasrah dengan semua yang dilakukan oleh mbak Eri,
karena sekarang aku sudah mulai menikmatinya. Bahkan aku membalas ketika dia
menciumku lagi.
“Dibuka lebar kakinya bu guru,” kembali aku menurutinya. Ku
buka lebar-lebar kedua kakiku dan dia langsung mengocok vaginaku lagi dengan
jarinya, kali ini 2 jari langsung.
“Hmmpphhh hhhppp,” aku hanya bisa mendesah tertahan karena
kembali dicium olehnya.
Tubuhku sudah benar-benar dikuasai oleh nafsu, tak ingat
lagi bahwa aku adalah seorang istri setia, ibu dari seorang anak lelaki yang
lucu, perempuan alim yang selalu berpenampilan tertutup. Tapi kini aku sedang
telanjang bulat, dengan seorang wanita lain yang juga telanjang bulat, yang
tadi sudah membuatku 2 kali merasakan orgasme.
Kembali tubuhku mengejang saat permainan jarinya membawaku
pada orgasme ketigaku hari itu. Tubuhku benar-benar lemas, tapi dia belum
berhenti. Dia kembali merangsangku dengan meremas kedua payudaraku bergantian,
sambil tetap mencium bibirku, yang kubalas tak kalah ganasnya.
Kemudian kurasakan kedua tangannya membuka kakiku. Eh tunggu
dulu, tangan mbak Eri kan sedang meremas payudaraku, dan yang satunya memegang
kepalaku. Lalu tangan siapa yang memegang kakiku itu? Perasaanku mendadak tak
enak. Aku ingin melepaskan ciumanku untuk melihat siapa yang ada di ruangan ini
lagi, tapi mbak Eri menahannya. Bahkan kini kedua tangannya memegang kepalaku
agar ciumannya tak terlepas.
Saat itu kurasakan bibir vaginaku seperti disentuh oleh
sesuatu yang keras. Bukan, bukan hanya disentuh, tapi benda itu perlahan masuk
membelah bibir vaginaku. Aku mencoba meronta sebisanya, tapi tertahan oleh mbak
Eri, dan seorang lagi di bawah sana.
Benda itu terus masuk, hingga akhirnya badanku menegang saat
benda itu menyentuh dinding rahimku. Oh tidak, ini, penis. Tapi penis siapa?
Dan, kenapa besar dan panjang sekali. Vaginaku terasa sakit, meskipun sudah
basah karena 3 kali orgasme tadi.
Aku terperanjat saat mbak Eri melepaskan ciumannya di
bibirku, sehingga aku bisa melihat orang di bawah sana. Ternyata dia adalah
petugas security yang tadi berjaga di pintu depan. Dan orang itu sudah melepas
semua pakaiannya, dia sudah telanjang bulat, dan penisnya berada di dalam
vaginaku.
“Le,, lepasiiin. Apa apaan ini??”
“Hehe udah bu guru, nikmatin aja kontolnya pak Wawan, enak
banget kok.”
“Nggak, lepasin. Cabut pak, cabut. Vaginaku, sakiiiit.”
Tapi lelaki itu bukannya menuruti perkataanku, malah
menggoyangkan penisnya maju mundur. Rasanya benar-benar sakit meskipun vaginaku
sudah benar-benar basah. Air mataku langsung turun tak tertahankan. Aku sedang
disetubuhi oleh pria yang sama sekali tidak ku kenal, yang baru saja kulihat
beberapa saat yang lalu.
Aku mencoba meronta tapi kedua tanganku dipegang dengan erat
oleh mbak Eri. Sementara lelaki yang katanya namanya pak Wawan itu tampak
sedang menikmati sekali sempitnya lubang vaginaku. Dia meracau tak jelas, entah
apa yang dikatakannya.
Aku teringat anak dan suamiku. Kalau dipikir lagi, ini
adalah pertama kalinya sejak menikah aku keluar sendirian tanpa pamit kepada
suamiku, dan ternyata aku malah mengalami hal seperti ini. Huks, maafkan aku
mas Galih.
Aku yang sedang terpejam merasakan ada sesuatu yang menempel
di wajahku. Betapa terkejutnya aku ketika membuka mata, mbak Eri sedang
mengangkangiku, vaginanya persis berada di depan wajahku.
“Jilati dong bu guru,” aku tersentak mendengar
permintaannya.
Tak pernah seumur-umur aku menjilati vagina wanita lain.
Bahkan dengan suamiku saja, aku jarang sekali melakukan oral, dan kini malah
wanita ini dengan seenaknya menyuruhku menjilat vaginanya? Aku pun menggeleng.
Tapi dia malah menggesek-gesekkan vaginanya di wajahku, membuatku terpejam
jijik.
Melihat aku tak memenuhi permintaannya, dia mengentikan
perbuatannya. Aku penasaran apa yang akan diperbuatnya lagi dan membuka mataku.
“Pak Wawan,” dia menengok ke belakang dan memanggil pak
Wawan yang sedang menggenjotku, seperti sedang memberikan sebuah kode
kepadanya.
“Aaaaaarrrggghhhh ampuuuunnn..” aku menjerit karena
tiba-tiba penis pak Wawan yang besar itu menyodok vaginaku dengan brutal.
Bukan hanya itu, dia bahkan membetot kedua puting susuku
dengan sangat keras. Sakit sekali rasanya.
“Keluarin lidah bu guru kalau nggak pengen lebih disakiti
lagi.”
Aku yang takut mau tak mau menjulurkan lidahku, dan disambut
dengan bibir vaginanya. Aku semakin menangis menyadari kondisiku sekarang.
Vaginaku sedang diperkosa oleh pria yang sama sekali tak ku kenal, dan aku
dipaksa untuk mengoral vagina wanita lain. Betapa menyedihkanya seorang istri
yang alim dan setia dipaksa melakukan ini, tapi itulah yang terjadi.
Entah berapa lama aku diperlakukan seperti itu, hingga
kurasakan sodokan penis pak Wawan kian kencang, dan goyangan pantat mbak Eri di
wajahku juga semakin cepat. Aku tahu mereka akan orgasme. Masalahnya, aku juga
merasakan yang sama.
Tak bisa kupungkiri, penis pak Wawan yang besar itu, yang
tadinya membuatku kesakitan, justru sekarang terasa sangat nikmat, beda dengan
penis mas Galih yang ukurannya lebih kecil dan pendek.
“Aaahh bu guruuu, aku keluaarrr, aku pejuiin memekmuuu
aaaahhhh..”
Setelah dari tadi meracau tak jelas, akhirnya itulah yang
kudengar dari mulut pak Wawan. Aku tak ingin lelaki itu orgasme di dalam
vaginaku, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.
“Aaaahh keluaaaaarrrr...”
Crot crot crot..
Entah berapa kali semburan sperma panas pak Wawan memenuhi
rahimku, membuat tubuhku juga ikut mengejang karena merasakan orgasme yang
sangat dahsyat, lebih nikmat dari yang kurasakan selama ini. Benar-benar luar
biasa.
Disaat yang bersamaan, vagina mbak Eri juga memuncratkan
cairan orgasmenya, banyak sekali sampai masuk ke dalam mulutku. Aku gelagapan
dan ada yang tertelan juga tadi.
Mereka berdua kemudian melepaskanku. Tangisku langsung
pecah. Aku bersingut memeluk tubuhku sendiri. Tapi kedua orang itu tampak cuek.
Kurasakan ada cairan yang merembes keluar dari vaginaku, itu pasti sperma pak
Wawan.
Saat aku masih menangis tiba-tiba tubuhku ditarik oleh pak
Wawan hingga terletang, lalu dia memaksa memasukan penisnya ke dalam mulutku.
Aku yang sudah tak berdaya tak mampu lagi melawan, membiarkan penis besar itu
keluar masuk seenaknya di dalam mulutku. Sementara di bawah kurasakan mbak Eri
menjilati vaginaku.
Aku bergidik, apa dia tidak jijik dengan sperma pak Wawan
yang masih ada di vaginaku? Eh tapi tunggu dulu, bukankah penis ini juga masih
ada spermanya? Belum dibersihkan kan tadi? Mendadak aku mual tadi pak Wawan
terus memompa penisnya di mulutku, bahkan sampai menyentuh tenggorokanku,
membuatku beberapa kali tersedak.
Puncaknya saat dia membenamkan penisnya dalam-dalam, lalu
kurasakan spermanya muncrat masuk ke dalam tenggorokanku. Karena kesulitan
bernafas mau tak mau kutelan habis sperma itu.
Aku tercekat, pertama kalinya aku menelan sperma. Kembali
aku menangis sejadi-jadinya, karena telah memberikan apa yang tak pernah
kuberikan kepada suamiku sebelumnya. Kedua orang ini telah benar-benar
menghancurkan kehormatanku sebagai seorang wanita.
“Eri, bersihin tubuhnya, aku masih mau pake lagi,” perintah
pak Wawan kepada mbak Eri.
“Siap bos.”
Mbak Eri kemudian memapahku ke bathtub. Dia lalu menyiramiku
dengan air dingin, membuatku menggigil. Setelah itu dia keringkan tubuhku
dengan handuk. Di matras tempatku di perkosa tadi, ternyata alasnya sudah
diganti oleh pak Wawan. Aku dibiarkan saja duduk disitu sambil terus menangis.
Belum sempat pak Wawan ataupun mbak Eri melakukan apapun
kepadaku, tiba-tiba handphoneku berbunyi. Mbak Eri mengambilkannya, dan begitu
kulihat ternyata suamiku menelpon.
“Ha,, halo, assalamualaikum pa.”
“Waalaikumsalam ma. Mama lagi gimana?”
“Hmm, ini lagi keluar ke tempat temen, kenapa pa?”
“Oh nggak, cuma mau kasih tahu aja nanti papa pulangnya
telat, biasa lembur akhir bulan. Jadi mama nanti nggak usah nungguin, tidur
duluan aja nggak papa.”
“Emang papa pulangnya jam berapa?”
“Yaah nggak tahu ma, serampungnya aja. Mungkin bisa sampai
jam 12 malam.”
“Hah, jam 12?”
“Iya ma. Ya udah ya, papa masih banyak kerjaan ini.
Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Aku meletakkan handphoneku. Pak Wawan dan mbak Eri kulihat
tersenyum-senyum saja.
“Kenapa? Suamimu pulang malam?”
Aku hanya mengangguk saja.
“Wah, berarti kita punya banyak waktu dong. Aku masih belum
puas ngerasain memek kamu.”
“Pak, udah pak saya mohon. Saya mau pulang, anak saya nunggu
di rumah.”
“Nggak bisa, hari ini tugas kamu cuma 1, ngelayanin aku
sampai aku puas. Kalau kamu nggak bisa bikin aku puas, kamu nggak boleh
pulang.”
Aku pun menangis pasrah. Tak ada lagi yang bisa kulakukan
selain menuruti apa perintah pria itu. Tak lama kemudian mbak Eri keluar dari
ruangan ini setelah memakai lagi pakaian kerjanya. Meninggalkan aku berdua
dengan pak Wawan.
Hari itu aku benar-benar dihabisi oleh pak Wawan. Seharian
penuh tubuhku dipaksa melayaninya. Berbagai macam posisi seks yang tak pernah
kulakukan dengan suamiku kami lakukan hari itu. Aku benar-benar sampai lemas
dibuatnya. Entah berapa kali dia menyirami rahimku dengan spermanya, yang saja
kental dan seolah tak ada habisnya. Entah berapa kali juga aku dipaksa untuk
meminum cairannya itu.
Pak Wawan bahkan memintaku untuk memakai semua pakainku,
lengkap dengan jilbabku. Kemudian dia kembali memperkosaku. Katanya aku jauh
lebih menggairahkan dengan jilbab di kepalaku seperti ini. Sementara aku kian
merasa berdosa, seorang wanita alim berjilbab, seorang istri setia, tapi sedang
naik turun di atas tubuh pria lain, dengan kontolnya berada di dalam memekku.
Saat sama-sama istirahat, barulah aku tahu kalau pak Wawan
ini sebenarnya adalah pemilik panti pijat ini. Dia sudah berkali-kali menjerat
wanita seperti diriku meskipun belum sebulan buka. Wanita-wanita yang
menurutnya cantik dan sesuai seleranya, akan bernasib sama seperti aku, tak
peduli itu masih perawan, ataupun sudah menikah sepertiku. Tak peduli itu
wanita berpenampilan seksi ataupun yang berjilbab sepertiku.
Bahkan aku juga tahu kalau Wika menyuruhku kesini itu atas
perintah pak Wawan. Dia telah merekam semua apa yang terjadi di kamar ini,
termasuk ketika memerawani Wika 2 minggu yang lalu. Dengan berbekal rekaman itu
dia mengancam para wanita yang sudah berhasil dia perkosa untuk menjadi budak
seksnya. Tapi pak Wawan memberikan sebuah pilihan sulit kepada para wanita itu,
termasuk aku sekarang.
Dia akan berhenti membuat kami menjadi budah seks, asalkan
kami mau mencarikannya korban baru. Dia yang menentukan siapa korbannya, itu
dilihat dari foto-foto di handphone, juga dari sosial media kami. Kalau kami
bersedia, maka dia akan melepaskan kami, tapi kalau tidak, maka kami akan terus
menjadi budak seksnya.
Menurut cerita pak Wawan, sebagian dari yang sudah berhasil
dia perkosa memilih untuk mencarikan korban baru, sisanya memilih untuk tetap
bertahan karena merasa lebih terpuaskan dengan pak Wawan ketimbang oleh
pasangan mereka masing-masing.
Sekarang aku berada di persimpangan. Pak Wawan baru saja
memilih seseorang dari handphoneku untuk menjadi penggantiku. Jika aku berhasil
membuatnya terjebak disini, pak Wawan akan melepaskanku.
Masalahnya, orang yang dipilih pak Wawan itu adalah adik
iparku sendiri, dan dia belum menikah. Aku jadi tak tega untuk mengorbankanya
juga. Aku tak ingin keperawanannya hilang oleh lelaki busuk ini. Tapi kalau aku
tidak menurutinya, aku akan terus menjadi budak seks pak Wawan.
Aku sangat bingung. Aku benar-benar tak ingin mengorbankan
adik iparku. Aku sudah mencoba memberinya pilihan lain tapi dia tak mau. Apakah
aku harus mengorbankan adik iparku? Atau tetap bertahan menjadi budak seks pak
Wawan? Masalahnya, aku sudah mulai menikmati perkosaan atas diriku, yang
nikmatnya jauh melebihi dari apa yang bisa diberikan oleh suamiku.
0 Comments
Posting Komentar